Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

About

Mengenai Saya

Foto saya
Bijaksana, baik hati, sederhana, dan terkadang humoris

Pengikut

Sabtu, 04 September 2010


Karangan cerita karya: Tira Risyadi

Cerita ini hanya karangan belaka bila ada kesamaan dalam alur cerita kisah ini, itu hanya kebetulan saja...




Setelah menikah, Ridwan dan Farida hidup bahagia. Keluarga baru ini hari-harinya di hiasi penuh dengan kindahan, sebagaimana mestinya umat muslim yang idam-idamkan, ialah keluarga sakinah, mawadah dan warohmah... 2 tahun kemudian mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Ridho. Ridho sempat pesantren di salah satu pesantren yang berada di Tasikmalaya... 15 tahun kemudian... Selama mondok di pesantren, Ridho tak pernah menerapkan akhlak dan moralnya dengan baik, bahkan sholat lima waktu pun, tak sepenuhnya ia tunaikan. Terkecuali kalau ia selagi ada di rumah, ia terlihat alim, apapun yang diperintahkan kedua orangtuanya, Ridho tak pernah membangkang, begitupun dengan ibadah sholatnya tak pernah ia tinggalkan selama orangtuanya berada di rumah. Karena ia takut kepada kedua orangtuanya, bukannya takut karena Allah. Ridho bertingkah laku demikian pengaruh lingkungan di sekolahnya, yang saat ini mengenyam bangku SMU. Kota Jakarta adalah pusat perantau dari daerah lain, sehingga segala etnis berbaur satu di kota tersebut. Di mana Jakarta penuh beragam keistimewaan dan pula beragam keburukkannya. Ridho adalah masa remaja labil yang pada dasarnya tengah mencari jati diri yang sesungguhnya, sepertinya ia belum menemukan jati diri yang ideal dalam hidup. Selama di sekolah, Ridho hanya mengenal dunia luarnya penuh dengan kekerasan, brutal dan sifat premanisme. Pada dasarnya warga setempat berpikir, bahwa sekolah tak bisa dijadikan sebagai faktor kesalahan paling utama. Karena yang terpenting adalah pada diri seorang anak itu sendiri, antara terbawa arus ataupun tidak, sebab hidup adalah adaptasi, di mana pun berada jikalau ia memiliki prinsif teguh terhadap ajaran agama, maka takkan terbawa arus dalam lingkungan tidak baik dan takkan mempengaruhi karakter yang ada pada dirinya. Berkali-kali, Ridho sering melihat tawuran antar pelajar dengan seragam sekolah yang lain. Tanpa ia sadari, Ridho pun ikut serta dalam dunia keras tersebut. Tak sedikit, banyak korban hingga meninggal dan luka-luka akibat tawuran tersebut. Namun karena jiwa anak muda yang berapi-api, mereka tak perdulikan apa yang akan terjadi dari akibat itu. Padahal para orangtua mereka banyak mengkhawatirkan dengan adanya tawuran antar pelajar itu, yang berakibat fatal. Suatu ketika sepulang kerja, Ridwan melihat anaknya tengah tawuran. Di tempat kejadian itu, Ridho berlaku liar, seakan ia dalam pertempuran hebat yang mesti dihadapinya. Gesper itu, ia ayunkan berputar berlawanan arah jarum jam, yang telah ia ikatkan dengan bekas gir sepeda motor, sedangkan kawan-kawannya menggunakan alat-alat tajam lainnya, dari samurai, golok, cerulit hingga lemparan-lemparan batu ke arah yang mereka anggap sebagai musuh-musuhnya. Sedangkan para polisi kalangkabut berlarian mengejar-ngejar para pelajar brutal itu. Seketika itu, Ridwan mengerem mobil sedannya tepat dihadapan Ridho. Ridho hanya terdiam malu menatap sorot mata tajam ayahnya itu terhadap dirinya. Setelah itu, Ridho masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil, mereka berdua hanya terdiam tanpa ucapkan kata-kata, Ridwan hanya mampu berbisik pada hatinya, "Astaghfirulloh... Mengapa anakku berbuat sesuatu hal yang tidak disukai Allah...?! Ya Tuhan, ampuni hamba dan anakku atas perilakunya yang telah melukai-Mu Ya Robb... Dengan aksinya yang tak terpuji itu." Ridho pun bertanya dalam hatinya, "Kenapa ayah gak menegur dan memarahiku?! Apa aku telah melakukan hal memalukan, hingga ayahku tak berani menegur dan menyapaku?! Entahlah, mungkin ayah lebih tahu bagaimana cara mendidikku!" Lalu sesampai di rumah, Ridwan tak membahas tentang kejadian tadi, bahkan pada Farida pun ia tak memberitahukan hal itu. Namun Farida merasa heran penuh tanda tanya dalam hatinya, "Kenapa mereka berdua pulang bersama?!" Tetapi Farida tak sempat menanyakan hal itu pada Ridwan atau pun anaknya... Di sepertiga malam, Ridwan terbangun dan membangunkan istrinya untuk sholat tahajud. Setelah selesai sholat tahajud, lalu Ridwan berdoa, "Ya Tuhan-ku, ampuni hamba yang gagal mendidik anakku dan jangan Engkau jadikan anakku nasrani, yahudi, atau pun majusi. Jadikan ia anak yang sholeh dan berikanlah dia petunjuk dan hidayah-Mu, hingga di setiap langkahnya senantiasa dalam ridho-Mu... Amin..." Dalam setiap tetes air matanya terselipkan butiran-butiran ketakutan dan kecemasan yang mendalam terhadap anaknya. Setelah berdoa, lalu mereka pun malanjutkan tidurnya, dalam tidurnya selalu terniang di benaknya, "Mengapa anakku berlaku alim di dalam rumah ini, tetapi di luar begitu terlihat liar dan ganas bak seorang penjahat atau pun bandit yang haus akan pertempuran, permusuhan dan pembunuhan." Mengapa Ridwan tak berani membahas kejadian itu, karena ia merasa takut, kalaupun ia mendikte anaknya, ia takut anaknya akan semakin berbuat lebih dari itu. Namun jikalau ia melihat anaknya demikian, maka ia berencana untuk menegur dan menasihatinya tentunya dengan strategi dan lebih bijak lagi untuk mencari jalan yang paling baik. Meskipun ayahnya sudah tahu Ridho berperilaku demikian, tapi untungnya Ridho selamat dari pantauan ayahnya. Karena Ridho selalu berlaku baik apabila sedang di rumah, akan tetapi di luar rumah, sifat buruknya ia kembangkan dengan baik, tanpa sedikitpun kedua orangtuanya tahu. Bahkan ia mulai mendekati dan mengkonsumsi barang-barang haram seperti narkoba... Singkat cerita... Kini Ridho telah menyelesaikan wisudanya dengan gelar sarjana ekonomi. Dengan mendengar kabar ini, orangtua Nadia ingin sekali Ridho tinggal beberapa saat di tempat tinggalnya. Dan Ridho pun menyetujuinya tinggal di tempat almarhummah istri dulu ayahnya. Ibu Nadia menganggap Ridho sebagai cucunya sendiri, sehingga ia berani meminta izin hal itu kepada Ridwan. Padahal perilaku Ridho belum ada perubahan, ia belum meninggalkan sifat dulunya yang tidak baik... Ridwan, Farida beserta kedua orangtua mereka, turut mengantarkan Ridho ke Bandung. Setibanya di Bandung, tepatnya di Bandung Utara, yang asri, sejuk, subur dan pula di tempat tersebut bertaburan pegunungan dan perbukitan nan indah. Mereka di sambut baik oleh orangtua Nadia. Meski dalam kondisi demikian silaturohim antara mereka tak ada putusnya, meskipun sudah tak ada ikatan apapun diantara mereka, tapi temali persaudaraan terasa kental sekali. Selama tinggal di rumah orangtua Nadia. Ridho mengalami perubahan secara perlahan setelah mengenal seorang gadis bernama Fitri yang berparas manis. Ridho mengenal Fitri, karena sering kali melihat Fitri sholat berjamaah di masjid. Ridho pun sempat menanyakan tentang Fitri kepada ibu Nadia, dan ibu Nadia berkata, "Kamu naksir Fitri ya...?!" Sembari ibu Nadia tersenyum lucu atas pertanyaan Ridho itu. Ridho menjawab, "Gak, aku hanya sekedar ingin tahu aja kok, nek..." Ibu Nadia tersenyum kembali seraya berkata, "Fitri anaknya DKM masjid Al-Ikhlas, dan ia pun masih kuliah." Lambat laun Ridwan pun acap kali menunaikan ibadah sholatnya di masjid tersebut, yang kebetulan berdekatan dengan rumah kedua orangtua Nadia. Suatu ketika, Fitri hendak berangkat ke kampus namun Fitri tak sengaja menjatuhkan selembar kertas dan kebetulan Ridho melihatnya di balik jendela. Lantas Ridho mendekati kertas itu yang terjatuh oleh Fitri dan memungutnya. Lembaran itu ada tulisannya, tadinya Ridho tak berani untuk membacaya, namun Ridho merasa penasaran dengan tulisan tersebut, hingga ia membacanya di tempat tidurnya. Tulisan tersebut bertajuk;

SEBUAH HARAPAN INDAH
Ku hanya gadis biasa...
Ku cinta kau karena agama
Ketika agama hilang darimu
Maka lenyaplah cintaku padamu
Ku hanya gadis biasa...
Bisa menangis bisa tertawa
Bisa bersedih bisa bahagia
Hanya sebuah harapan indah
Ku kan bertahan dalam keindahan
Ku kan menjaga keutuhan
Ku kan menjaga kesucian
Ku hanya gadis biasa...
Menanti sebuah harapan indah
Menanti sang pangeran berkuda
Yang sanggup melindungiku
Yang sanggup mempertahankanku
Menjagaku dalam hangat kasih sayangmu
Ku kan sabar menantimu
Ku kan sabar menunggumu
Sebuah harapan indahku...

Fitri Widiyaningsih

Setelah membacanya, Ridho beranggapan kalau Fitri sudah mempunyai idaman hati. Padahal Ridho tahu, ia mulai berubah dan bertaubat karenanya, namun meski demikian Ridho merasa, tak baik kalau cinta itu mesti dipaksakan... Ketika Ridho akan ke masjid untuk sholat dzuhur, tak disengaja melihat seorang nenek-nenek tua renta tengah berjalan menyusuri jalan setapak, yang terlihat tanahnya dalam kemiringan 70 derajat dari permukaan tanah dasar. Nenek-nenek itu berjalan perlahan, selangkah demi selangkah merayap sembari kedua tangannya memegang akar-akar pohon yang melintang di permukaan tanah dalam kemiringan tersebut. Nenek-nenek itu terlihat bersemangat menuruni jalan setapak, saking menginginkannya sholat berjamaah di masjid, walau ia tak peduli bahaya jiwanya di depan mata terbentang. Namun karena keikhlasan hatinya untuk beribadah, ia tak peduli akan membahayakan dirinya, bahkan mukena yang menempel di raganya itu, seakan menggugah gairahnya untuk sholat berjamaah. Sebenarnya nenek-nenek ini, selalu diantar oleh anaknya namun pada saat itu anaknya sedang pergi, serta di rumahnya tidak ada siapapun sehingga nenek itu berinisiatif pergi seorang diri... Lalu Ridho menghampiri nenek tersebut dengan maksud menolongnya, setelah sampai di tujuan, tangan Ridho mengulurkan tangannya kepada seorang nenek itu. Nenek itu tersenyum dan menyambut tangan Ridho itu, dengan mata berbinar-binar penuh rasa bahagia ada yang membantunya. Melihat secuil kebahagiaan yang nampak di wajah nenek-nenek tersebut, Ridho berkata dalam hatinya, "Subhanalloh... Nenek tua ini, begitu bersemangat menjalankan perintah Allah, padahal aku sendiri yang masih muda dan bertenaga, terkadang berleha-leha menegakan sholat... Mungknkah ini sebuah teguran dari Allah, bahwa aku harus benar-benar taubat nasuha... Ya Allah, ampuni hamba dari segala dosa dan terimalah taubatku... Alhamdulillah, wasyukurillah... Engkau telah memberiku hidayah yang begitu luar biasa." Ridho seraya eneteskan air matanya melihat sosok seorang nenek yang begitu kuat tekadna untuk menunaikan sholat berjamaah di masjid. Sesampai di masjid, lantas nenek itu ucapkan terima kasih kepada Ridho, ia pun tersenyum dan merasaan kebahagiaan bathin yang tiada tara yang diberikan Allah padanya. Dan Ridho pun memehami pengalaman yang barusan tadi, sehingga segala amal baik ibadahnya bukan karena manusia, akan tetapi ikhlas karena Allah SWT. Begitupun makna dari tulisan Fitri yang yang menginginkan cintanya itu ikhlas Lillahi Ta'ala... Beberapa minggu pun berlalu, Ridho pulang kembali ke Jakarta. Di Jakarta ia mulai mengalami perubahan pesat dalam dirinya. Ia sudah meninggalkan kebiasaan buruknya, bahkan ia mengakui taubatnya kepada kepada kedua orangtuanya. Da ia berjanji takkan mengulangi perilaku buruknya di masa lalu. Ridwan dan Farida bersujud syukur atas pengakuan Ridho, karena bagi mereka berdua hal ini adalah anugerah terindah yang telah Allah berikan pada mereka... Di tempat yang berbeda, Fitri mencari-cari selembar kertas yang pernah ia jatuhkan tanpa disengaja dan tanpa ia sadari kertas itu telah hilang, namun hasilnya nihil. Ia tak menemukan selembar kertas itu... Sepulang dari masjid, setelah Fitri sholat berjamaah dan kebetulan satu shaf dan bersebelahan denga ibu Nadia. Lantas ibu Nadia menyusul Fitri agar ia menunggu sebentar di rumahnya, Fitri pun penuh tanda tanya dalam hatinya, "Kenapa, tumben ibu Nadia menyuruhku untuk menunggu!" Setelah 3 menit menunggu, ibu Nadia menghampiri Fitri semabari memberikan sebuah amplop putih polos bertuliskan "Teruntuk Fitri Widiyaningsih". Lalu Fitri bertanya, "Dari siapa?!" Namun ibu Nadia tidak menjawabnya, ia hanya menyuruh Fitri agar pulang ke rumah dan membacanya. Dengan tersenyum , Fitri pamit kepada ibu Nadia dengan penuh rasa malu dan penuh rasa penasaran, apa isi dalam amplop tersebut. Fitri pun lekas memasuki kamarnya, ternyata amplop itu berisikan kertas yang selama ini ia cari-cari. Namun tulisannya sudah ditambahi oleh Ridho dengan tulisan "Maukah aku jadi pangeran berkudamu?" dan di bawahnya lagi dituliskan lagi namanya "Muhammad Ridho bin Ridwan". Setelah membacanya Fitri tersenyum bahagia karena hal itu yang ia harapkan terhadap seorang Ridho... Setahun kemudian, Ridho sudah mempunyai pekerjaan. Dengan penuh kepercayaan, ia memberanikan diri meminta restu kepada kedua orangtuanya bahwa ia ingin melamar Fitri. Setelah tahu maksud niat Ridho. Ridwan bertanya kepada Ridho, "Siapa dia? Dan anak siapa?" Ridho menjawab, "Ia bernama Fitri dan anak dari seorang DKM yang bernama Sobar bin Syukron." Ridwan pun berkata, "Oh, ya... Sobar teman ayah, saat ayah bekerja di Bandung... Baiklah ayah merestui lamaranmu..." Mereka bertiga tersenyum bahagia dengan apa yang diutarakan oleh Ridho. Lantas, Ridwan sekeluarga mendatangi keluarga Sobar untuk melamar Fitri bakal mantunya... Dan setibanya di sana, dari pihak keluarga Sobar pun menyetujui lamaran itu, begitupun dengan Fitri, ia pun menerima lamaran tersebut...



TAMAT




Rasa cinta itu unik

Bergerak sesuka hati

Mengalir lembut tulus

Tiada kira tak terduga

Mampu terobos segala ruang

Di mana mereka pun berada

Takkan jadi kendala

Hubungan bathin pun terjadi

Dari hati ke hati

Seakan tiada batas

Menyusur sela-sela cinta

Menyusur rongga-rongga cinta

Getarkan tiang-tiang asmara

Betapa bodohnya...

Bila cinta tiada disyukuri

Bila cinta tiada kekuatan

Bila cinta tiada perasaan

Betapa pandainya...

Cinta itu menyusur indah

Cinta itu membelai lembut

Cinta itu mengusik hati

Hingga tak mampu menolak fitrah-Mu

Saling mengasihi dan saling menyayangi

Kau taburkan sejuta senyum

Kau sebarkan sejuta santun

Kau tebarkan sejuta lantun

Menggugah gairah hidup

Menggugah gairah ibadah

Penuh niat setulus hati

Penuh niat kebersihan hati

Dengan ikhlas karena Allah

Sujud syukur atas anugerah-Mu

Segala nikmat-Nya tiada terhitung

Segala indah-Nya tiada terbilang

Sungguh tak pantas berburuk sangka

Karena Engkau Maha Segalanya

Sungguh tak pantas agungkan duniawi

Karena Engkau Maha Agung dari Segalanya

Berlaku tiada berlebihan

Dalam bingkai keseimbangan

Itulah makna dari kehidupan

Tak usah mengada-ada

Tak usah menabah-nambahkan

Tak usah memberat-beratkan

Allah berikan semuanya sesuai takaran

Betapa hinanya bila mengatur yang telah ditetapkan

Betapa hinanya bila mengatur yang telah ditentukan

Aturan-aturan Allah dapat dipertanggungjawabkan

Subhanallah, betapa rendahnya diri ini

Bila berlaku takabur, riya dan sombong

Bila berlaku membanggakan diri dengan apa yang dimiliki

Karena yang pantas sombong hanyalah Allah Ta'ala

Dia-lah Maha Kaya, Dia-lah Maha Kuasa

Firman-firman-Nya menyusur indah di setiap kehidupan

Sabda-sabdanya menyusur indah di setiap kehidupan

Bila membaca Surat Cinta-Mu Al-Qur'an

Rinduku pada-Mu semakin menggebu

Rinduku pada Rasul-Mu semakin membara

Duhai Allah, jadikan semua insan taat pada-Mu

Duhai Allah, jadikan semua insan beriman pada-Mu

Dan jangan Kau jadikan kami orang-orang yang kufur kepada-Mu

Amin, Amin, Amin Ya Robbal'alamin